Pendekatan BPS Lebih Representatif dan Akurat Ukur Perekonomian Nasional
Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) kembali menegaskan komitmennya dalam menyediakan data statistik yang akurat dan representatif sebagai dasar perumusan kebijakan nasional, khususnya terkait kemiskinan dan ketimpangan sosial-ekonomi. Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, memaparkan bahwa pelaksanaan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025 dilakukan lebih awal pada bulan Februari. Langkah ini diambil untuk menghindari distorsi data akibat bertepatan dengan bulan Ramadan.
“Pada Ramadan, pola konsumsi rumah tangga cenderung melonjak dan tidak mencerminkan perilaku konsumsi normal. Jika data diambil saat itu, pengeluaran rumah tangga akan terlihat lebih tinggi dari kondisi riil, sehingga garis kemiskinan pun tampak lebih rendah secara semu,” jelas Ateng.
Dengan metode yang lebih cermat, Susenas Februari 2025 diyakini menghasilkan data yang lebih murni dan objektif. Survei ini melibatkan 345.000 rumah tangga di 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, memastikan cakupan dan validitas yang luas dalam merekam kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Data terbaru mencatat, jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 mencapai 23,85 juta orang atau 8,47% dari total populasi. Angka ini menurun sebanyak 0,2 juta orang dibandingkan September 2024, mencerminkan efektivitas kebijakan pemulihan ekonomi yang dijalankan pemerintah sejak pandemi COVID-19.
“Penurunan ini tidak lepas dari perbaikan ekonomi masyarakat, pemulihan lapangan kerja, dan efektivitas bantuan sosial. Dengan data representatif, pemerintah dapat melakukan intervensi lebih tepat sasaran,” ujarnya.
Susenas juga menjadi dasar penghitungan indikator strategis nasional seperti garis kemiskinan, gini ratio, indeks keparahan kemiskinan, dan indeks modal manusia. Keseluruhan indikator ini sangat penting dalam mencapai target-target pembangunan dalam RPJMN 2025–2029.
BPS turut menanggapi perbedaan mencolok antara data kemiskinan versi BPS dan Bank Dunia. Menurut Ateng, perbedaan tersebut bersumber dari metode dan tujuan yang berbeda. BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (CBN), sementara Bank Dunia memakai standar global berbasis paritas daya beli (PPP) sebesar US$6,85 per kapita per hari.
“BPS menghitung kemiskinan berdasarkan pengeluaran untuk kebutuhan dasar masyarakat Indonesia secara spesifik, bukan standar negara lain. Oleh karena itu, data BPS lebih tepat digunakan untuk perumusan kebijakan nasional,” tegasnya.
Langkah-langkah strategis BPS ini membuktikan pentingnya pendekatan lokal berbasis realitas rumah tangga dalam menghasilkan data statistik yang berkualitas tinggi dan relevan. Dengan demikian, perencanaan pembangunan nasional dapat dilakukan secara lebih presisi, adil, dan inklusif.
Leave a Reply